Nama lengkap beliau adalah Syaikh Al Muhaddits Abul Faidh Ahmad bin
Muhammad bin Shiddiq Al Ghumari Al Maghribi, beliau wafat th 1380-H.
Beliau hafal lebih dari 100.000 hadits dan telah mengarang puluhan
kitab2 takhrij, tahqiq bahkan ‘ilal wal juruh terhadap hadits2 namun
beliau tidak gembar-gembor seperti yang lain. Diantara kitab2 karangan beliau adalah :
1- المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي
2- الهداية تخريج البداية وهو تخريج لاحاديث بداية المجتهد لابن رشد
3- رفع المنار لطرق حديث “من سئل عن علم فكتمه ألم بلجام من نار
4- المسهم في بيان حال حديث طلب العلم فريضة علي كل مسلم
5- الأجوبة الصارفة لأشكال حديث الطائفة ومعه كتابه : إظهار ما كان خفيا بنكارة حديث لو كان العلم بالثريا
6- بيان تلبيس المفتري محمد زاهد الكوثري
7- إقامة الدليل على حرمة التمثيل
8- الاستعاذة والحسبلة ممن صحح حديث البسملة
9- تبيين البَلَه ممن انكر وجود حديث : ومن لغا فلا جمعة له
10- ابراز الوهم المكنون من كلام ابن خلدون
11 وسبل الهدى والرشاد في ابطال حديث اعمل لدنياك كانك تعيش ابدا
12- وهدية الصغراء بتصحيح حديث التوسعة يوم عاشوراء
13- والافضال والمنة في رؤية النساء لله في الجنة
14- والاقناع بصحة صلاة الجمعة في المنزل خلف المذياع
15- الاستنفار لغزو التشبه بالكفار
16- الحسبة على من جوز صلاة الجمعة بلا خطبة
Al-Hafizh As Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Al-Shiddiq Al-Ghumari
Al-Hasani adalah seorang ulama ahli hadits yang terakhir menyandang
gelar AL-HAFIZH (gelar tertinggi dalam bidang ilmu hadits)..
Ia
memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan ulama kaum Wahhabi.
Dalam kitabnya: ( جؤنة العطار في طرف الفوائد ونوادر الأخبار), sebuah
autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat sebuah
kisah sebagai berikut ;
“Pada tahun 1356 H ketika saya
menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi
di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang beliau juga seorang
ulama Wahhabi dari Najd.
Dalam pembicaraan itu, mereka
menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya paling sesuai
dengan hadits dan anti terhadap taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun
masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah Subhanahu wa Ta‘ala
dan bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan
ideologi Wahhabi.
Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an
yang secara literal (zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah
Subhanahu wa Ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka.
Seperti ayat ;
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ) طه/ 5
“Ar Rahman yg bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS Thoha : 5)
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى العَرْشِ ) الأعراف/ 54
“Kemudian IA bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS Al A’raf : 54)
************
Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka:
“Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bahagian dari al-Qur’an?”
Para Ulama Wahhabi itu menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?”
Para ulama Wahhabi serentak menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Lalu bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ). (الحديد : ٤)
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada?!” (QS. al-Hadid : 4).
Apakah ini juga termasuk al-Qur’an?”
Para ulama Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, tentu saja termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata:
“Lalu bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
مَا يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ وَهُوَ رَابِعُهُمْ. (المجادلة : ٧).
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).
Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?”
Para ulama Wahhabi itu menjawab: “Ya, itupun termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala tidak di langit). Lalu mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang
Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah
Subhanahu wa Ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada
kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa
Ta‘ala tidak ada di langit..?!
Padahal kesemua ayat tersebut juga dari Allah Subhanahu wa Ta‘ala?”
Para ulama Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad yang mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka: “Nah, mengapa kalian kali ini malah taklid
kepada pendapat Imam Ahmad dan tidak mengikuti dalil..?!”
Tiga
ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut
mereka. Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka yang lain, yaitu bahwa
ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat
yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala ada di langit tidak
boleh dita’wil..
Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja
saya akan bertanya lagi kepada mereka, lalu siapa yang mewajibkan
menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat
yang kalian sebutkan tadi..?!
Seandainya mereka pun mengklaim
adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya
sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi
beberapa ulama Muhaddits besar seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang
ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam
al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh
(menyerahkan pengertiannya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala).”
Demikian kisah Al-Imam Al ‘Allamah Al-Hafizh Ahmad bin Al-Shiddiq
Al-Ghumari dengan tiga ulama besar kaum Wahhabi pada masanya. Aku
menceritakan kisah ini bukan untuk mencela siapapun, dan bukan untuk
berdebat kepada siapapun, karena umurku sangat pendek dan aku tak sempat
mengisinya dengan perdebatan, namun aku hanya ingin menunjukkan bahwa
jangan pernah kita mengklaim bahwa kebenaran adalah hanya milik kelompok
kita, dan yang lain adalah salah, hendaklah kita saling menghormati
walau dalam perbedaan, karena Islam hanya akan menjadi indah jika kita
bisa saling mengakui kelebihan dan kelemahan kita dan juga orang lain
wahai saudaraku..
Nafa’ani waiyyaakum..
(Diambil dan diolah dari berbagai sumber)
Syaikh Al Muhaddits Al Hafizh Abul Faidh Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq
Al Ghumary Al Hasany Al Maghroby RahimahuLLAAHu Ta’ala ‘anhu