Oleh Ustadz Syukron Ma'mun Cirebon
Hari ini kita di sini berkumpul dalam rangka haul Sayyidi Syaikh Ahmad
at Tijani. Haul itu sangat penting dan landasan hukumnya berdasarkan al
Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam Bulughul Maram diterangkan,
Rasulullah SAW tiap tahun ketika haul paman Beliau, Sayyidina Hamzah bin
Abdul Muthalib, berziarah ke makam Sayyidina Hamzah. Kalau berhalangan
hadir, maka diwakilkan kepada Sayyidatina Fathimah.
Orang-orang
yang dihauli, baik itu Sahabat, Auliya’, dan ‘Ulama, itu disifati oleh
Allah dalam al Quran. Allah mensifati Sahabat dalam ayat,
محمد
رسول الله، و الّذين معه أشدّاء على الكفّار رحماء بينهم تراهم ركّعا سجّدا
يبتغون فضلا من الله و رضوانا، سيماهم في وجوههم من اثر السجود.
Allah yang memberi sifat sahabat, yaitu: pertama, tegas terhadap kuffar
dan terhadap kekafiran; kedua, ruhamaa-u baynahum, saling mengasihi
sesama, tidak saling hasad dan saling serobot, tidak saling bermusuhan
sesama sahabat, tidak saling menjatuhkan sesama sahabat, saling
membantu, rukun, dan menjadi teladan umat.
Yang mengangkat
derajat sahabat adalah Allah. Sahabat itu adalah orang yang berhadapan
dengan Rasulullah dan beriman pada Rasulullah, walaupun buta.
Semua sahabat adalah waliyullah, sebab yang memilih sahabat adalah Allah
sendiri. Sekali lagi, sahabat itu pasti auliya dan ulama. Auliya belum
tentu sahabat, tapi sahabat pasti auliya. Dan diantara peran besar para
sahabat adalah menjaga keutuhan Al Quran, sunnah Rasulullah, dan sejarah
kehidupan dan perjuangan Rasulullah dan sahabat-sahabat lain.
Setinggi apapun maqam kewalian seseorang, tidak bisa melebihi maqam
sahabat. Para sahabat itu menyaksikan kebesaran Rasulullah dan mu’jizat
terbesar Rasulullah yaitu Al Quran. Jadi kedudukan dan maqam sahabat itu
sangat kuat. Adapun Rasulullah menyaksikan kebesaran al Quran dan
kesaksian Allah pada ciptaan-Nya sendiri.
Wajah para sahabat itu
bercahaya, ini yang dinamakan min atsaris sujud, jadi bukan jidatnya
yang hitam itu sebagai bekas sujud, kalau yang Cuma jidatnya hitam itu
lebih tepat disebut min atsari karpet, bekasnya karpet. Para waliyullah
itu takut kalau jidatnya hitam, takut itu menjadikan riya’. Adapun
sahabat itu wajahnya bercahaya sangat berkilauan, dan ketika bangkit
dari alam kubur wajahnya terang seperti bulan purnama.
Itu semua
diawali dari wudhu para sahabat yang mencapai ke hati. Wudhu bukan hanya
melaksanakan syarat dan rukun wudhu. Kalau cahaya wudhu sampai hati,
maka timbul sifat tawadhu’ (rendah hati), dan tubuh tidak mau digunakan
untuk maksiat. Jangankan digunakan maksiat, semisal kita melihat
keburukan, mata ini tidak betah, pengennya pergi atau memejamkan mata.
Tidak mau membuka aib atau melihat aib saudara sesama muslim dan sesama
anak bangsa. Kalau melihat perempuan membuka auratnya, tidak mau
melihatnya, karena menganggap itu aib saudaranya. Begitu juga dalam
kehidupan berbangsa. Kalau kita menutupi aib saudara kita sebangsa, atau
pejabat kita, atau Negara kita, maka bangsa lain pun tidak berani
memojokkan bangsa kita. Bangsa lain memojokkan bangsa kita, tidak
menghormati bangsa kita karena kita sendiri yang membuka aib bangsa
kita.
Selain itu, contoh lain dari min atsaril wudhu’ adalah
tutur kata kita bagus dan sopan. Orang jadi berwibawa karena tutur kata
yang sopan. Salamatul insan fii hifzhillisan, selamatnya seseorang
karena menjaga lisannya dari tutur kata yang tidak baik. Apa yang kita,
orang dewasa, ucapkan itu akan ditiru juga oleh anak-anak. Jadi, yang
tua harus memberi contoh yang baik pada yang muda, pada anak-anak.
Janganlah kita membuka aib seseorang di atas podium, walaupun kita
tidak cocok terhadap seseorang. Allah ta’ala saja dalam al Quran memakai
ada ketika mengingatkan, yaitu dengan kalimat yaa-ayyuhal ladziina
aamanuu, yaa ayyuhan naas, tidak menyebut nama langsung, tapi wahai
orang-orang beriman, wahai manusia, bukan wahai fulan bin fulan.
Kalau lisan kita terbiasa berdzikir maka buahnya adalah tutur kata yang
baik. Berdzikir itu dilakukan karena kita perlu dan butuh pada Allah,
dan juga kan mencari pahala itu tidak hanya dalam shalat. Selain itu,
berdzikir itu untuk melatih dan membimbing lisan dan hati agar terbiasa
ingat Allah. Oleh karena tidak ada yang melebihi sakitnya sakaratul
maut, maka lisan dan hati harus dilatih dengan dzikir, apalagi dalam
thariqah. Apa yang menjadi kebiasaan lisan kita itu yang akan muncul
secara reflex saat sakaratul maut. Semisal, kalau lisan kita terbiasa
mengucapkan alhamdulillah, kemudian kita berjalan tanpa sengaja
terpeleset atau tersandung, maka biasanya reflex mengucapkan
alhamdulillah. Tapi kalau yang biasa dilatih dan diucapkan kata kotor
atau nama hewan, maka saat terpeleset atau tersandung batu ya kalimat
nama hewan itu yang keluar dari lisannya.
Badan kita atau baju
kita, tiga hari saja tidak dicuci maka baunya bikin orang lain tidak
nyaman, bahkan kita sendiri pun tidak nyaman. Kalau badan kotor kita
mudah membersihkannya, tinggal mandi. Tapi kalau hati kita yang kotor?
Dalam sehari, berapa kali kita mencuci hati kita?
Allah ta’ala
berfirman, alaa bidzikrillah tathma-innul quluub. Itulah cara kita
mencuci hati kita yaitu dengan berdzikir. Karena penyakit hati itu harus
dibersihkan agar jauh dari sifat tercela seperti ujub, sombong, riya’,
hasud (iri hati), dan lain-lain. Adapun membersihkan hati itu dengan
kalimat dzikir laa ilaaha illAllah. Kalau dalam membaca laa ilaaha
illAllah ditata dengan baik dan diresapi dalam hati, maka kalimat laa
ilaaha illAllah bisa membersihkan hati kita, sehingga hati penuh dengan
laa ilaaha illAllah.
Kita ini dalam masuk thariqah jangan kayak
anak SD yang suka pamer fadhail (keutamaan). Anak-anak kan kalau hari
lebaran biasa pakai baju baru, biasanya itu saling pamer bagus-bagusan
baju baru. kata si A, bagusan bajuku gambarnya pesawat, si B nggak mau
kalah, si C juga nggak mau kalah. Semua rebutan bagus-bagusan baju baru
lebaran. Masuk thariqah itu untuk wushul kepada Allah, bukan untuk
fadhail. Kalau kita masuk thariqah kayak anak SD, maka thariqah dan
dzikir kita hanya menghiasi lisan. Padahal, kalau thariqah sudah
menghiasi bathin kita, maka saya jamin dunia damai.
Seminggu
sebelum wafat, Sayyidi Syekh Al Imam Abul Abbas Ahmad bin Muhammad At
Tijani keliling silaturrahim ke Ulama, memohon doa kepada para Ulama
agar Husnul Khatimah, padahal sekelas al Imam Ahmad at Tijani itu wali
Quthub, tapi masih mau bersilaturrahim dan memohon doa ke Ulama lain.
Itu bentuk betapa tawadhu’nya al Imam As Syaikh Ahmad at Tijani.
Jangan kita bikin malu Imam Thariqah kita dengan cara kita berakhlak
yang baik, tawadhu’, cinta Rasulullah dan Ulama. Sehingga kompak, saling
tawadhu, dan saling mengangkat. Orang Qadiriy memuji orang Tijani,
orang Syathari mengangkat orang Naqsybandiy, dan seterusnya, jadi sesama
ahli thariqah, meskipun berbeda thariqah tapi saling memuji dan saling
mengangkat. Ini harus saya sampaikan karena saya sebagai Rais ‘Aam Ahli
Thariqah Mu’tabarah yang mana akan saya pertanggungjawabkan di dunia dan
kelak di akhirat di hadapan Allah Ta’ala. Tunjukkan bahwa kita ini
adalah bagian dari ahli laa ilaaha illAllah.