Sebagaimana yang kita ketahui bersama, akhir-akhir ini di Indonesia banyak daripada pemimpin-peminpin di Daerah gencar mendirikan patung-patung atau monumen-monumen yang menimbulkan Pro-Kontra. Pada waktu yang lalu masyakarakat di Sidoarjo menuntut kepala daerah disana untuk merobohkan atau memindahkan 9 Patung manusia di Monumen Jayandaru karena di anggap sebagai berhala, Alhamdulillah akhirnya patung-patung tersebut di pindahkan ke Pasuruan.
Bukan hanya di Sidoarjo, tahun 2011 lalu di Purwakarta Jawa Barat sempat terjadi aksi yang sama, penulis meyakini bawha hal tersebut adalah bentuk aspirasi umat yang sudah tidak terbendung lagi, namun yang lebih mencengangkan adalah, setelah 4 tahun berlalu Bupati H. Dedi Mulyadi. SH yang sempat terpilih kembali pada pilkada 2013 lalu ini malah gencar mendirikan patung-patung baru di tengah kota Purwakarta.
Proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan analisis atas kondisi kebutuhan masyarakat. Rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang yang menjadi titik tolak acuan pemerintah dalam perencanaan pembangunan seharusnya tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Begitupun dengan proses penganggaran yang termaktub dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharusnya menjadi representasi pembangunan berbasis rakyat, bukan penguasa
Perobohan patung-patung tersebut menjadi salah satu bukti bahwa apa yang dibelanjakan oleh Pemerintah Daerah Purwakarta dengan nilai anggaran yang tentu tidak sedikit malah kontradiktif dengan kehendak masyarakat. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip anggaran yang seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat. Pun demikian dengan proses perencanaan daerah yang dengan peristiwa ini disinyalir pelaksanaan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) di Desa/Kelurahan, Kecamatan sampai Kabupaten tidak berjalan sebagaimana mestinya. Aspirasi masyarakat mengalami klimaks lantaran suaranya tidak didengar apalagi dilaksanakan.
Dalil-Dalil Pengharaman pada patung
Dalam hadits Jabir disebutkan,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” (HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 4132). Yang dimaksud shonam dalam hadits adalah patung yang memiliki bentuk tubuh
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah.”
(HR. Bukhariy dan Muslim)
Bukan hanya soal patung, rakyat purwakarta pun seakan-akan di ajak untuk kembali pada tradisi nenek moyang terdahulu, atau dengan kata lain kembali pada masa “Jahilliyah” Naudzubillah. Seperti yang di kutip oleh RMOLJabar. “Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ingin mengembalikan tradisi orang Sunda pada budaya luhur dan tradisi masa lalunya”.
"Membangun identitas Indonesia dari budaya Bali saja itu melahirkan multiplayer effect, ekonominya tumbuh, pariwisata perhotelan tumbuh, industri kreatifnya tumbuh berasal dari kebudayaan yang dimilikinya. Ini yang kita harus belajar." Paparnya.
Pada akhirnya, kata Dedi ini juga menjadi sebuah keyakinan orang Bali mensucikan kampungnya, mensucikan airnya, mensucikan tanahnya, mensucikan lautnya, mensucikan hutannya.
Kita semua tentunya tahu, bahwa tradisi masa lalu orang sunda adalah tradisi hindu, sedang kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra.
Wallahu’alam..